Artikel Populer Bulan Ini
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Label
Film Chrisye, Perjalanan Mesin Waktu Sang Legenda
Tahun 1987, rumah itu terlihat cukup besar diantara yang lain. Walau pagarnya cukup tinggi, tapi pintu gerbang rumah itu, terkadang dibiarkan terbuka, sehingga saat kita melintas didepannya kita bisa sekilas menengok ke area pekarangan rumah itu.
Sebuah mobil Mercedes Benz type Boxer (kalau tidak salah) berwarna orange agak kemerahan (ini pun kalau saya tidak salah ingat) sering terlihat diparkir di halaman rumah itu.
Sebuah mobil Mercedes Benz type Boxer (kalau tidak salah) berwarna orange agak kemerahan (ini pun kalau saya tidak salah ingat) sering terlihat diparkir di halaman rumah itu.
“Itu rumah Chriye” Ujar bapak ku. Jujur saat itu saya belum begitu mengenal rupa Chrisye, lebih sering mendengar suaranya di radio tanpa pernah membayangkan wajahnya. Baru sekitar tahun 1994 saat Chrisye menggelar konser tunggal pertama kali di Plenary Hall Jakarta Convention Center, saya baru mengenali wajah sang penyanyi legenda ini.
Perjalanan karir dan hidup Chrisye yang penuh perjuangan ini akhirnya diangkat kelayar lebar. Mengambil sudut pandang dari Damayanti Noor (istri Chrisye) bagaimana melihat sosok seorang Chrisye dalam kehidupan sehar-harinya. Film arahan Rizal Mantovani dan diproduksi oleh MNC Pictures ini benar-benar membuat perasaan saya campur aduk.
Diawal film, diperlihatkan rekaman dokumenter suasana duka di kediaman Chrisye sesaat dia meninggal dunia karena kanker paru-paru yang diidapnya. Kemudian film berlanjut dari tahun ke tahun bagaimana Chrisye mengawali karir musiknya.
Yang menarik adalah, tim artistik film ini begitu detail menggarap setting jakarta ditahun 1970, 1980 sampai tahun 1990. Tidak hanya pakaian saja, mobil, perangkat elektronik sampai situasi bundaran HI dan patung pancoran pada tahun itu terlihat real.
“Kesulitannya adalah bagaimana menggambarkan tahun demi tahun yang berganti dengan visualisasi kendaraan dan gaya busana yang lagi trend pada saat itu”. Cerita Rizal Mantovani saat berbincang dengan saya di sela screening film Chrisye di Epicentrum Jakarta.
Alur film Chrisye membuat perasaan kita campur aduk. Diawal kita akan diajak untuk mengetahui bagaimana perjuangan Chrisye untuk tetap bermusik dibumbui dengan diromantisme kikuk ala Chrisye. Sampai pada titik dimana emosi kita diajak naik turun bak roller coaster di penghujung film.
Yang menarik diperhatikan di film ini adalah, konflik agamanya yang biasanya selalu mejadi nilai "jualan" paling mudah di ekspose dari segi emosinal dikebanyakan film di Indonesia. Di film ini, justru konflik perbedaan agama antara Chrisye dan calon istrinya tidak dijadikan bumbu penyedap utama.
Seperti yang kita ketahui bersama, Chrisye adalah seorang Muallaf.
Tergambar sangat jelas bahwa keluarga besar Chrisye yang Nasrani memahami dengan legowo mengenai keputuasan Chrisye. Begitu pula dengan ibu dari Damayanti Noor, yang sebelum meninggal dunia, berpesan agar jangan menghalangi jika Chrisye dan Damayanti Noor ingin menikah. Pesan ini di ucapkaan sebelum Chrisye memutuskan jadi muallaf.
Terlihat kedua keluarga besar ini memiliki rasa saling menghormati yang sangat tinggi. Mereka mempunyai rasa saling menghargai antar umat beragama yang luar biasa, ketika di jaman sekarang semangat itu sudah mulai berkurang.
Terlihat kedua keluarga besar ini memiliki rasa saling menghormati yang sangat tinggi. Mereka mempunyai rasa saling menghargai antar umat beragama yang luar biasa, ketika di jaman sekarang semangat itu sudah mulai berkurang.
Difilm ini tidak hanya menceritakan sisi personal Chrisye sebagai, Anak, Adik, Kakak, Suami dan Seorang Ayah. Difilm ini juga menceritakan apa yang terjadi dibalik panggung konser tunggal Chrisye yang jadi tonggak sejarah, bahwa musisi Indonesia bisa menggelar konser yang megah.
Nah dari film ini kita pun jadi tahu, kisah menegangkan di 2 hari menjelang konser tunggal Chrisye di JCC pada tahun 1994. Kejadian yang paling ditakuti oleh setiap penyanyi saat menjelang konser.
Nah dari film ini kita pun jadi tahu, kisah menegangkan di 2 hari menjelang konser tunggal Chrisye di JCC pada tahun 1994. Kejadian yang paling ditakuti oleh setiap penyanyi saat menjelang konser.
Konser yang tercatat sebagai konser tunggal pertama kali dilakukan oleh musisi Indonesia ini, membuat Jay Subiakto dan Erwin Gutawa sebagai penggagas konser pun dibuat kalut saat dihari pementasan, masalah yang menimpa Chrisye belum tertuntaskan.
Selain itu proses dibalik rekaman lagu Ketika Kaki dan Tangan Berkata, membuat saya tercekat. Nafas seakan tersangkut di tenggorakan, detak jantung makin cepat dan tanpa terasa matapun membasah. Dan saya yakin, sebagian besar penonton merasakan getaran yang sama.
Bahkan, saat saya menonton film ini untuk yang kedua kalinya, tetap saja dibagian membuat saya selalu terharu.
Tepuk Tangan di Penghujung Film
Dari dua kali saya menonton film Chrisye, penonton selalu memberikan tepuk tangan dipenghujung film sebagai penghargaan bagi sang legenda Chrisye dan juga untuk para pemain dan kru film ini. Jarang sekali, saya melihat penonton Indonesia bertahan untuk melihat credit title diakhir film. Karena memang dipenghujung film, lagi-lagi emosi kita dibuat terenyuh.
“Chrisye adalah seorang Fighter” Ujar Vino saat ditanya mengenai sosok Chrisye di sebuah stasiun TV Swasta. Akting Vino G Bastian difilm ini patut di acungi jempol, walau diawal promo film ini berjalan banyak yang mempertanyakan kenapa mesti Vino yang memerankan Chrisye karena perbedaan fisik yang berbeda.
Tapi kalau sudah melihat filmnya, saya jamin kita akan sepakat bahwa Vino lah yang paling cocok memerankan Chrisye. Akting Velove pun sangat maksimal, saya hampir tidak mengenali Velove diawal film saat memerankan Damayanti Noor di settingan tahun 1970an.
Kesulitan 2 pemeran utama ini (khususnya) saat memerankan Chrisye adalah, referensi keseharian yang sulit ditemukan. Vino hanya menemukan gaya Chrisye di atas panggung. Untuk mengetahui bagaimana Chrisye diluar panggung, Vino hanya mempelajari dari apa yang diceritakan oleh Damayanti Noor.
Menurut saya, film ini bisa dinikmati oleh berbagai kalangan umur dan lintas 3 generasi. Melihat film ini seperti menyaksikan perjalanan mesin waktu dalam satu film yang tanpa terasa sudah 110 menit kita lewati untuk menikmati film ini.
Yang agak mengganggu bagi saya adalah, scene merokok yang terlihat sangat vulgar. Mungkin bagi orang tua yang mengajak anaknya melihat film ini, bisa diberi sedikit pengarah mengenai dampak merokok. Selebihnya film ini sangat aman dinikmati oleh anak umur 13 tahun keatas (kategori remaja).
Dukung terus film Indonesia
Komentar
Paling Banyak di Baca
Tips Jakarta-Bali Lewat Tol Trans Jawa Menggunakan Mobil Pribadi
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Review ASUS VivoBook X441U, Laptop Dengan Suara Menggelegar
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Film yang mengugah rasa. Saya senang dengan scene yang pas tampil di TV dan milih mencuci daripada nonton. Kalau jaman sekarang mah...
BalasHapuskalau jaman sekarang mah, tipinya di screenshoot mbak,... eh emang bisa ya tivi di screenshoot?.
HapusSaya juga suka karya-karya lagu Chrisye, apalagi lagu religi Ketika Kaki dan Tangan Berkata yang sampai sekarang masih membekas. Vino juga berhasil memerankan sosok Chrisye
BalasHapusfilm akhir tahun yang bikin klepek-klepek..
Hapus